Sabtu, 20 Juli 2013

Drop Out karena IP 4,00

Banyak dari sekian mahasiswa mendewakan yang namanya nilai. Dalam urusan belajar, mungkin tak sebesar seperti keinginan mereka memperoleh nilai tinggi. Bisa dibilang, belajar minimal hasil maksimal. Itu adalah motto andalan kebanyakan mahasiswa sekarang.

Yaa,,itu tadi adalah beberapa mahasiswa dari sampel yang didapat. Tapi bukan berarti semua mahasiswa kaya gitu loh. Ternyata banyak juga yang bener bener belajar demi bisa mendapatkan nilai yang mereka idamkan. Bahkan tidak sedikit diantara mereka merelakan masa mudanya untuk bergaul dengan tumpukan buku tiap harinya. Alhasil, mereka pandai tapi sosial kurang. Hmm,,itu udah jadi konsekwensi mereka demi secuil nilai.

Tapi faktanya, kenyataan dilapangan tidak berpihak pada mereka, si rajin. Namun keberuntungan justru berpihak pada si malas. Apa yang terjadi?

Dan jawabannya adalah faktor dosen. Ya! Faktanya, dosen memang selalu jadi momok sang penentu nasib mahasiswanya. Mau mereka belajar seperti apa, belum tentu yang jarang belajar itu nilainya lebih rendah dari mereka. Bahkan bukan tidak mungkin yang belajarnya mati matian justru nilainya lebih rendah dari mahasiswa yang jarang belajar. Itulah yang sedang terjadi. .

Seperti kisah Gerard misalnya.

Gerard adalah salah satu mahasiswa ikatan dinas. Diantara teman kuliahnya, ia adalah mahasiswa paling malas dikampusnya. Jelas saja, terlihat dari betapa sering ia terlambat masuk kuliah, tidak pernah kerja tugas sendiri dan memang ia sangat jarang belajar. Hal itu ia sengaja karena prinsip dia satu, "yang penting lulus!!"
Sehingga tak pernah tampak sedikitpun semangat belajar dari dirinya. Beruntungnya, ia selalu mendapatkan dosen yang enak ngasih nilainya. Entah karena sang dosen malas periksa berkas ujian, atau memang sang dosen yang suka ngasih nilai cuma cuma untuk mahasiswanya. Hal itu membuat Gerard selalu lulus dan mendapatkan nilai yang gak beda jauh dari teman temannya. Pada semester berikutnya, lagi lagi ia mendapatkan dosen dosen dermawan nilai. Hal itu membuatnya semakin malas untuk belajar dan berperilaku seperti sebelum sebelumnya. Hingga sampailah saat saat mereka mengikuti ujian semester. Walaupun ia yakin dosennya bakal ngasih nilai baik, tapi kali ini ia sedikit merasa khawatir dengan hasil kerja ujiannya. Gimana gak khawatir, tiap hari ia gak pernah belajar dan waktu ngerjain tak satupun yang bisa ia kerjakan.

Hfyuuhh,,dan akhirnya tibalah waktunya pengumuman nilai. Saat itu terlihat wajah wajah khawatir tampak memenuhi ruangan kelas. Mulai dari yang pinter, yang rajin, sampai yang malesan. Semuanya punya rasa yang sama, khawatir. Setelah lama menahan rasa penasaran, akhirnya sang dosen mengumumkan IP mahasiswanya satu per satu. Dan terlihat, salah satu mahasiswa yang dikenal pinter mendapatkan IP 3,62. Semakin kencang rasanya suara detak jantung Gerard saat itu. Tak lama setelah itu, tiba tiba sang dosen memanggil Gerard seperti ini, "Gerard,,maaf bapak tidak bisa membantu banyak." Setelah mendengar pernyataan itu, tanpa bicara sedikitpun ia pun menangis. Kemudian sang dosen pun melanjutkan pernyataannya, "hahahaa,,selamat Gerard, kamu mendapatkan IP 4,00. Sekaligus IP tertinggi dikampus ini."
Setelah mendengar kata itu, bukan hanya Gerard, tapi semua pun ikut terkejut mendengarnya. Akhirnya mereka pun lulus semua tanpa ada yang harus Drop Out satupun.

Namun sejak saat itu, Gerard justru terlihat sering murung. Ia berfikir, pantaskah ia mendapatkan nilai itu? Hal itu justru membuat ia semakin terbebani. Pantas saja, ia adalah orang yang malas, gak pernah belajar, tapi kini ia justru mendapatkan IP tertinggi. Dan pikiran itu selalu menghantui dia sejak saat itu, sejak pertama ia melihat nilai. Akhirnya mental ia pun mulai kacau. Konsentrasinya hilang, dan selalu murung. Sehingga akhirnya ia harus mengalami gangguan jiwa akibat hal itu.
Pihak kampuspun dengan tegas akan peraturannya bahwa tidak menerima dari mahasiswanya yang didapati mengalami gangguan jiwa. Akhirnya dengan terpaksa ia harus Drop Out.

Seperti itulah kisah Gerard pada masa kuliahnya. Orang lain biasa Drop Out karena IP kurang, atau tidak bisa mengikuti mata kuliah yang diberikan. Tapi berbeda dengannya. Ia harus Drop Out karena mendapatkan nilai tertinggi, IP 4,00.

Lantas jika seperti ini, Siapa yang harus disalahkan??

Tidak ada komentar:

Posting Komentar